Makna Filosofi Puasa Ramadhan Menurut Imam Al-Ghazali
Semua
yang disyariatkan ajaran agama Islam ataupun yang dilarangnya pasti
mengandung nilai-nilai (makna) filosofisnya. Barang kali hanya saja kita
belum mampu mengatahui dan menghayatinya. Seperti halnya dengani
badah-ibadah lainnya, maka ibadah puasa pun setidaknya ada enam nilai
filosofis yang dikandungnya.
Ramadhan
kita jalani selama berhari-hari sebulan penuh. Kita merasakan lapar dan
haus setiap kali matahari berada ujung kepala. Apalagi bagi kita yang
masih beraktivitas dan bekerja hingga waktu siang. Perut terasa sakit
dan tenggorokan dahaga, ditambah lagi terik yang mengucurkan keringat.
Bukan
cuma menahan diri dari makan dan minum, tetapi selama puasa kita harus
menahan diri dari semua yang membatalkan. Sebagian dari hal yang
membatalkan puasa ialah memasukkan benda (padat atau cair) ke dalam
tubuh, baik melalui mulut, telinga, hidung, maupun lubang-lubang tubuh
lain. Orang yang berpuasa juga harus menekan diri dari syahwatul farji yaitu bersetubuh, atau barangkali “onani/masturbasi”.
Secara
kasat mata, puasa hanyalah ibadah badaniyah (ibadah fisik) yang mampu
melatih tubuh untuk lebih mandiri dan membiasakan diri dari
bersenang-senang. Perut dilatih untuk tidak makan dalam durasi yang
lebih lama dari hari-hari biasa. Bagi yang sudah menikah, dilatih untuk
tidak berhubungan badan dengan pasangannya di siang hari.
Namun
ternyata, puasa bukanlah soal fisik semata, melainkan penempaan batin
dari hawa nafsu. Semua ibadah yang disyariatkan Allah tentu penuh dengan
rahasia tersembunyi. Jarang sekali yang merenungkannya dan memahami,
hingga dijiwai sebagai syariat. Banyak perbuatan orang puasa yang secara
syariat tidak membatalkan puasa, namun mnggugurkan pahala besarnya.
Imam
Muhammad al-Ghazali, seorang sufi yang sangat memahami ilmu fiqh,
memberikan gagasan tentang rahasia puasa. Sebagai seorang ahli fiqh
sekaligus ahli tasawuf, Imam Ghazali tidak melulu memandang puasa
sebagai ibadah badaniyah. Oleh karena itu, gagasannya tentang rahasia
puasa pun menyadarkan kita akan pentingnya menunaikan ibadah puasa
secara lahir batin.
Berikut ini enam rahasia puasa menurut Imam al Ghazali yang ditulis dalam kitab fenomenalnya Ihya’ Ulum ad Din:
- Menundukkan mata dan mencegahnya dari memperluas pandangan ke semua yang dimakruhkan, dan dari apapun yang melalaikan hati untuk berdzikir kepada Allah.
- Menjaga lisan dari igauan, dusta, mengumpat, fitnah, mencela, tengkar, dan munafik.
- Menahan telinga dari mendengar hal-hal yang dimakruhkan. Karena semua yang haram diucapkan, haram pula didengarkan. Allah menyamakan antara mendengar dan memakan perkara haram, “sammaa’uuna lil kadzibi akkaaluuna lis suht”.
- Mencegah bagian tubuh yang lain seperti tangan dan kaki dari tindakan-tindakan dosa, juga mencegah perut dari makan barang syubhat ketika berbuka. Mana mungkin bermakna, orang berpuasa dari makanan halal lalu berbuka dengan makanan haram. Ibaratnya seperti orang yang membangun gedung tetapi menghancurkan kota. Nabi Muhammad pernah bersabda, “Banyak sekali orang yang berpuasa namun yang ia dapat hanya lapar dan haus. Ia adalah orang yang berbuka dengan haram. ”Wa qiila, “Ia yang berpuasa lalu berbuka dengan memakan daging sesama, yaitu dengan ghibah.”
- Tidak memperbanyak makan ketika berbuka, mengisi perut dan mulut dengan tidak sewajarnya. Maka, apalah arti puasa jika saat berbuka seseorang mengganti apa yang hilang ketika waktu siang, yaitu makan. Bahkan, justru ketika Ramadhan makanan akan lebih beragam. Apa yang tidak dimakan di bulan-bulan selain Ramadhan malah tersedia saat Ramadhan. Padahal, maksud dan tujuan puasa ialah mengosongkan perut dan menghancurkan syahwat, supaya diri menjadi kuat untuk bertakwa.
- Supaya hati setelah berbuka bergoncang antara khouf (takut) dan roja’ (mengharap). Karena, ia tidak tahu apakah puasanya diterima dan ia menjadi orang yang dekat dengan Allah, ataukah puasanya ditolak dan ia menjadi orang yang dibenci. Dan seperti itulah adanya di seluruh ibadah ketika selesai dilaksanakan.
Rahasia-rahasia
yang dipaparkan oleh Imam Ghazali ini bisa kita perhatikan baik-baik,
di mana puasa bukan hanya tentang perut. Puasa adalah berpuasanya
seluruh tubuh, puasanya mata, puasanya kaki, puasanya tangan, puasanya
telinga, bahkan hati pun ikut berpuasa. Puasa tidak hanya dipandang
secara syariat antara sah dan batal. Karena yang puasanya sah hingga
tebenam matahari belum tentu diterima oleh Allah. Melainkan puasa yang
menyeluruh dari raga hingga jiwa. Wallahu a’lam bis shawab.
Oleh: Hilmi Abedillah via tebuireng.org